Pages

Subscribe:

Rabu, 22 Februari 2012

Karya Sastra Melayu Lama

Karya Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu Lama adalah sastra yang berbentuk lisan atau sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra melayu lama masuk ke indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke-13. Peninggalan sastra melayu lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di minye tujuh, aceh
Sastra Melayu Lama adalah termasuk bagian dari karya sastra indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat sumatera seperti "langkat, tapanuli, minangkabau dan daerah sumatera lainnya", orang tionghoa dan masyarakat indo-eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat,
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa.[3] Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Ciri-ciri sastra melayu lama yaitu :
·         Anonim atau tidak ada nama pengarangnya
·         Istana sentris (terikat pada kehidupan istana kerajaan)
·         Tema karangan bersifat fantastis
·         Karangan berbentuk tradisional
·         Proses perkembangannya statis.
·         Penggolongan sastra melayu klasik

Bentuk-bentuk Karya Sastra Melayu Lama
1.      Gurindam
Gurindam ini dibawa oleh orang Hindu atau pengaruh sastra Hindu. Gurindam berasal dari Bahasa Tamil (India) yaitu kirindam yang berarti mula-mula asal perumpamaan
Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi. Gurindam berisi nasihat, petuah, ajaran moral kebaikan dan budi pakerti  .
Ciri-ciri Gurindam adalah sebagai berikut :
·        Setiap bait terdiri atas dua baris atau larik
·        Biasanya menggunakan pola rima sama atau lurus (a – a)
·        Umumnya setiap baris terdiri atas 4-6 kata (8 – 12 suku kata)
·        Baris pertama dan kedua biasanya membangun hubungan sebab akibat
·        Umumnya mengandung petuah, nasihat, atau amsal (ucapan yang mengandung kebenaran)
Contoh : Gurindam Dua Belas (Karya Raja Ali Haji)
Barang siapa tiada memegang agama,
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang ma’rifat.
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tengah-Nya tiada ia mengalah
Takutlah ia barang yang terpedaya
Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudarat
Kurang berfikir, kurang siasat
Tinta dirimu kalah tersesat
Fikir dulu sebelum berkata
Supaya terlelah selang sengketa
Kalau mulut tajam dan kasar
Boleh ditimpa bahaya besar
Jika ilmu tiada sempurna
Tiada berapa dia berguna

2.      Hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.
Ciri-ciri Hikayat
·         Isi ceritanya berkisar pada tokoh raja dan keluarganya
·         Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika tersendiri yang menyebutkannya fantastis
·         Mempergunakan banyak kata arkais (klise). Misalnya Hatta, Syahdan Sohibul dan lain-lain
·         Nama pengarang biasanya tidak disebutkan (anonim)
Tema dominan dalam hikayat adalah petualangan. Biasanya diakhir kisah, tokoh utamanya berhasil menjadi raja atau orang yang mulia. Oleh karena itu alurnya pun cenderung monoton. Penokohan dalam hikayat bersifat hitam putih artinya tokoh yang baik biasanya selalu baik dari awal hingga akhir kisah ia pun dilengkapi dengan wajah dan tubuh yang sempurna begitu pula sebaliknya tokoh jahat walaupun tidak semuanya berwajah buruk
Contoh Hikayat
Ditulis oleh Herman RN berdasarkan tuturan lisan Halimah (80-an), seorang warga Ujung Pasir, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan.
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.
Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.
Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
“Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”
“Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” sahut ibunya.
“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
“Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.
“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.
Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.
Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak dilihatnya seorang pun manusia.
“Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.
Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.
Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.
Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana ia mendapatkan ikan.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.
Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.
Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu. Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam, pakaian, dan sebagainya.

3.      Karmina
Karmina atau dikenal dengan nama pantun kilat adalah pantun yang terdiri dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua adalah isi. Memiliki pola sajak lurus (a-a). Biasanya digunakan untuk menyampaikan sindiran ataupun ungkapan secara langsung.
Ciri-ciri Karmina :
a.       Terdiri dari dua baris
b.      Bersajak a-a
c.       Terdiri dari 8-12 suku kata
d.      Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua merupakan isi
Contoh pantun karmina :
·         Sudah gaharu cendana pula.
Sudah tahu masih bertanya pula.
·         Dahulu parang sekarang besi.
Dahulu sayang sekarang benci.
·         Dahulu sedan sekarang mercy.
Dahulu teman sekarang istri.

·         Ada tempayan gede tutupnya.
Anak perawan gede kentutnya.
·         Iklan sembilang di balik batu.
Sudah dibilang jangan mengganggu.
·         Sirsak sirsak nangka belanda.
Pikiran rusak digoda janda.
·         Candi Mendut rusak jalannya.
Orang gendut banyak makannya.
·         Siti Bagendit jangan dicaci.
Kakek genit digoda banci

4.      Pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa . Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Contoh Pantun
Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang


Jenis-jenis Pantun
Pantun Adat
Menanam kelapa di pulau Bukum
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
Ikan berenang didalam lubuk
Ikan belida dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk
Adat sirih pulang ke gagang
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka
Bukan lebah sembarang lebah
Lebah bersarang dibuku buluh
Bukan sembah sembarang sembah
Sembah bersarang jari sepuluh
Pohon nangka berbuah lebat
Bilalah masak harum juga
Berumpun pusaka berupa adat
Daerah berluhak alam beraja

Pantun Agama
Banyak bulan perkara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
Daun terap di atas dulang
Anak udang mati dituba
Dalam kitab ada terlarang
Yang haram jangan dicoba
Bunga kenanga di atas kubur
Pucuk sari pandan Jawa
Apa guna sombong dan takabur
Rusak hati badan binasa
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat dipintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang

Pantun Budi
Bunga cina di atas batu
Daunnya lepas kedalam ruang
Adat budaya tidak berlaku
Sebabnya emas budi terbuang
Diantara padi dengan selasih
Yang mana satu tuan luruhkan
Diantara budi dengan kasih
Yang mana satu tuan turutkan
Apa guna berkain batik
Kalau tidak dengan sujinya
Apa guna beristeri cantik
Kalau tidak dengan budinya
Sarat perahu muat pinang
Singgah berlabuh di Kuala Daik
Jahat berlaku lagi dikenang
Inikan pula budi yang baik
Anak angsa mati lemas
Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
Hilang budi karena miskin
Biarlah orang bertanam buluh
Mari kita bertanam padi
Biarlah orang bertanam musuh
Mari kita menanam budi
Ayam jantan si ayam jalak
Jaguh siantan nama diberi
Rezeki tidak saya tolak
Musuh tidak saya cari
Jikalau kita bertanam padi
Senanglah makan adik-beradik
Jikalau kita bertanam budi
Orang yang jahat menjadi baik
Kalau keladi sudah ditanam
Jangan lagi meminta balas
Kalau budi sudah ditanam
Jangan lagi meminta balas

Pantun Jenaka
Pantun Jenaka adalah pantun yang bertujuan untuk menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan rasa tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan suasana akan menjadi semakin riang. Contoh:
Di mana kuang hendak bertelur
Di atas lata dirongga batu
Di mana tuan hendak tidu
Di atas dada dirongga susu
Elok berjalan kota tua
Kiri kanan berbatang sepat
Elok berbini orang tua
Perut kenyang ajaran dapat
Sakit kaki ditikam jeruju
Jeruju ada didalam paya
Sakit hati memandang susu
Susu ada dalam kebaya
Naik kebukit membeli lada
Lada sebiji dibelah tujuh
Apanya sakit berbini janda
Anak tiri boleh disuruh
Orang Sasak pergi ke Bali
Membawa pelita semuanya
Berbisik pekak dengan tuli
Tertawa si buta melihatnya
Jalan-jalan ke rawa-rawa
Jika capai duduk di pohon palm
Geli hati menahan tawa
Melihat katak memakai helm
Limau purut di tepi rawa
Buah dilanting belum masak
Sakit perut sebab tertawa
Melihat kucing duduk berbedak
Jangan suka makan mentimun
Karna banyak getahnya
Hai kawan jangan melamun
Melamun itu tak ada gunanya

Pantun Kepahlawanan
Pantun kepahlawanan adalah pantun yang isinya berhubungan dengan semangat kepahlawanan. Contoh :
Adakah perisai bertali rambut
Rambut dipintal akan cemara
Adakah misai tahu takut
Kamipun muda lagi perkasa
Hang Jebat Hang Kesturi
Budak-budak raja Melaka
Jika hendak jangan dicuri
Mari kita bertentang mata
Kalau orang menjaring ungka
Rebung seiris akan pengukusnya
Kalau arang tercorong kemuka
Ujung keris akan penghapusnya
Redup bintang haripun subuh
Subuh tiba bintang tak nampak
Hidup pantang mencari musuh
Musuh tiba pantang ditolak
Esa elang kedua belalang
Takkan kayu berbatang jerami
Esa hilang dua terbilang
Takkan Melayu hilang dibumi

Pantun Kias
Ayam sabung jangan dipaut
Jika ditambat kalah laganya
Asam digunung ikan dilaut
Dalam belanga bertemu juga
Berburu kepadang datar
Dapatkan rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi
Anak Madras menggetah punai
Punai terbang mengirap bulu
Berapa deras arus sungai
Ditolak pasang balik kehulu
Kayu tempinis dari kuala
Dibawa orang pergi Melaka
Berapa manis bernama nira
Simpan lama menjadi cuka
Disangka nenas di tengah padang
Rupanya urat jawi-jawi
Disangka panas hingga petang
Kiranya hujan tengah hari

Pantun Nasihat
Kayu cendana di atas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang
Kemuning di tengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri
Parang ditetak kebatang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu
Padang temu padang baiduri
Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata
Ngun Syah Betara Sakti
Panahnya bernama Nila Gandi
Bilanya emas banyak dipeti
Sembarang kerja boleh menjadi
Jalan-jalan ke kota Blitar
Jangan lupa beli sukun
Jika kamu ingin pintar
Belajarlah dengan tekun

Pantun Percintaan
Coba-coba menanam mumbang
Moga-moga tumbuh kelapa
Coba-coba bertanam sayang
Moga-moga menjadi cinta
Limau purut lebat dipangkal
Sayang selasih condong uratnya
Angin ribut dapat ditangkal
Hati yang kasih apa obatnya
Ikan belanak hilir berenang
Burung dara membuat sarang
Makan tak enak tidur tak tenang
Hanya teringat dinda seorang
Anak kera di atas bukit
Dipanah oleh Indera Sakti
Dipandang muka senyum sedikit
Karena sama menaruh hati
Ikan sepat dimasak berlada
Kutunggu di gulai anak seberang
Jika tak dapat di masa muda
Kutunggu sampai beranak seorang
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Kirim saya sehelai baju
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi ranting kayu.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Belikan sahaya pisau lipat
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi benang pengikat
Kalau tuan mencari buah
Sahaya pun mencari pandan
Jikalau tuan menjadi nyawa
Sahaya pun menjadi badan.

Pantun Peribahasa
Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Ke hulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian
Kerat kerat kayu diladang
Hendak dibuat hulu cangkul
Berapa berat mata memandang
Barat lagi bahu memikul
Harapkan untung menggamit
Kain dibadan didedahkan
Harapkan guruh dilangit
Air tempayan dicurahkan
Pohon pepaya didalam semak
Pohon manggis sebasar lengan
Kawan tertawa memang banyak
Kawan menangis diharap jangan

Pantun Perpisahan
Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang ditapak tangan
Biar jauh dinegeri satu
Hilang dimata dihati jangan
Bagaimana tidak dikenang
Pucuknya pauh selasih Jambi
Bagaimana tidak terkenang
Dagang yang jauh kekasih hati
Duhai selasih janganlah tinggi
Kalaupun tinggi berdaun jangan
Duhai kekasih janganlah pergi
Kalaupun pergi bertahun jangan
Batang selasih mainan budak
Berdaun sehelai dimakan kuda
Bercerai kasih bertalak tidak
Seribu tahun kembali juga
Bunga Cina bunga karangan
Tanamlah rapat tepi perigi
Adik dimana abang gerangan
Bilalah dapat bertemu lagi
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
Bolehlah kita bertemu lagi


Pantun Teka-teki
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk dihidung ?
Beras ladang sulung tahun
Malam malam memasak nasi
Dalam batang ada daun
Dalam daun ada isi
Terendak bentan lalu dibeli
Untuk pakaian saya turun kesawah
Kalaulah tuan bijak bestari
Apa binatang kepala dibawah ?
Kalau tuan muda teruna
Pakai seluar dengan gayanya
Kalau tuan bijak laksana
Biji diluar apa buahnya
Tugal padi jangan bertangguh
Kunyit kebun siapa galinya
Kalau tuan cerdik sungguh
Langit tergantung mana talinya ?


5.      Seloka
Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair, kadang-kadang dapat juga ditemui seloka yang ditulis lebih dari empat baris. Kata "seloka" diambil dari bahasa Sanskerta, sloka.
Contoh seloka 4 baris:
Sudah bertemu kasih sayang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapak tiada renggang
Tulang sendi habis berguncang
Contoh seloka lebih dari 4 baris:
Baik budi emak si Randang
Dagang lalu ditanakkan
Tiada berkayu rumah diruntuhkan
Anak pulang kelaparan
Anak dipangku diletakkan
Kera dihutan disusui
6.      Syair
Syair berasal dari Persia (sekarang Iran) dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum. Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi.
Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud).
            Contoh
Syair Nasihat kepada Anak (Raja Ali Haji)
Dengarkan tuan ayahanda berperi,
Kepada anakanda muda bestari,
Jika benar kepada diri,
Masihat kebajikan ayahanda beri.
Ayuhai anakanda muda remaja,
Jika anakanda mengerjakan raja,
Hati yang betul hendaklah disahaja,
Serta rajin pada bekerja.
Mengerjakan gubernemen janganlah malas,
Zahir dan batin janganlah culas,
Jernihkan hati hendaklah ikhlas,
Seperti air di dalam gelas.
Jika anakanda menjadi besar,
Tutur dan kata janganlah kasar,
Janganlah seperti orang sasar,
Banyaklah orang menaruh gusar.
Tutur yang manis anakanda tuturkan,
Perangai yang lembut anakanda lakukan,
Hati yang sabar anakanda tetapkan,
Kemaluan orang anakanda fikirkan.
Kesukaan orang anakanda cari,
Supaya hatinya jangan lari,
Masyurlah anakanda dalam negeri,
Sebab kelakuan bijak bestari.
Nasehat ayahanda anakanda fikirkan,
Keliru syaitan anakanda jagakan,
Orang berakal anakanda hampirkan,
Orang jahat anakanda jauhkan.
Setelah orang besar fikir yang karu,
Tidak mengikut pengajaran guru,
Tutur dan kata haru-biru,
Kelakuan seperti anjing pemburu.
Tingkah dan laku tidak kelulu,
Perkataan kasar keluar selalu,
Tidak memikirkan orang empunya malu,
Bencilah orang hilir dan hulu.
Itulah orang akalnya kurang,
Menyangka diri pandai seorang,
Takbur tidak membilan orang,
Dengan manusia selalu berperang.
Anakanda jauhkan kelakukan ini,
Sebab kebencian Tuhan Rahmani,
Jiwa dibawa ke sana sini,
Tiada laku suatu dewani.
Setengah yang kurang akal dan bahasa,
Sangatlah gopoh hendak berjasa,
Syarak dan adat kurang periksa,
Seperti harimau mengejar rusa.
Ke sana ke mari langgar dan rampuh,
Apa yang terkena habislah roboh,
Apa yang berjumpa lantas dipelupuh,
Inilah perbuatan sangat ceroboh.
Patut juga mencari jasa,
Kepada raja yang itu masa,
Tetapi dengan budi dan bahasa,
Supaya negeri ramai temasya.
Apabila perintah lemah dan lembut,
Semua orang suka mengikut,
Serta dengan malu dan takut,
Apa-apa kehendak tidak tersangkut.
Jika mamerintah dengan cemeti,
Ditambah dengan perkataan mesti,
Orang menerimanya sakit hati,
Barangkali datang fikir hendak mati.
Inilah nasehat ayahanda tuan,
Kepada anakanda muda bangsawan,
Nafsu yang jahat anakanda lawan,
Supaya kita jangan tertawan.
Habislah nasehat habislah kalam,
Ayahanda memberi tabik dan salam,
Kepada Orang Masihi dan Islam,
Mana-mana yang ada bekerja di dalam.
Syair Perahu (Hamzah al-Fansuri)
Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i'tikat diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu

Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.

Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.

Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.

Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.


Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba'id.

Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.


Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.

Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.

La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut
.

Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.

Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.

Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.

Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu 'azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.

Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na'am, siang dan malam.

Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.

Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.


Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
"yakin akan Allah" nama pawangnya.

"Taharat dan istinja'" nama lantainya,
"kufur dan masiat" air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.

Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,

"Allahu Akbar" nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.

"Wallahu a'lam" nama rantaunya,
"iradat Allah" nama bandarnya,
"kudrat Allah" nama labuhannya,
"surga jannat an naim nama negerinya.


Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam'ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.

Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.

Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,

itulah membawa badan terbuang.

Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.

Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,

Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?
La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.

La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma'rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.

La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da'im dan ka'im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.

La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.

La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.

La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma'rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.

La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,

siang dan malam jangan bercerai.

La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.


7.      Talibun
Talibun adalah sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi lebih dari 4 baris ( mulai dari 6 baris hingga 20 baris). Berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.
Ciri-ciri Talibun adalah seperti berikut:
·         Ia merupakan sejenis puisi bebas
·         Terdapat beberapa baris dalam rangkap untuk menjelaskan pemerian
·         Isinya berdasarkan sesuatu perkara diceritakan secara terperinci
·         Tiada pembayang. Setiap rangkap dapat menjelaskan satu keseluruhan cerita
·         Menggunakan puisi lain (pantun/syair) dalam pembentukannya
·         Gaya bahasa yang luas dan lumrah (memberi penekanan kepada bahasa yang berirama seperti pengulangan dll)
·         Berfungsi untuk menjelaskan sesuatu perkara
·         Merupakan bahan penting dalam pengkaryaan cerita penglipur lara
Tema talibun biasanya berdasarkan fungsi puisi tersebut. Contohnya seperti berikut:-
·         Mengisahkan kebesaran/kehebatan sesuatu tempat dll
·         Mengisahkan keajaiban sesuatu benda/peristiwa
·         Mengisahkan kehebatan/kecantikan seseorang
·         Mengisahkan kecantikan seseorang
·         Mengisahkan kelakuan dan sikap manusia
·         Mengisahkan perlakuan dimasa lalu
Contoh Talibun
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu